Minggu, Agustus 23, 2009

Tarung Bebas Selempang Pendekar Jember

Tarung Bebas Selempang Pendekar Jember: Kejarlah Daku Kau Ku-papas..!
Sebuah tendangan balik memutar menimbulkan kesiur angin yang kuat. Budi Hartono, si pemilik tendangan berharap serangannya kali ini bisa mendera tubuh Habibullah. Namun harapannya sia-sia. Habibullah yang melihat gerakan putaran badan Budi sudah tahu bahwa lawannya akan melakukan tendangan putar balik. Oleh karena itulah hanya dengan mencondongkan badannya ke belakang, maka tumit lawan itu hanya berkelebat cepat sejengkal di depan dadanya.

Tahu tendangannya gagal, maka Budi mengubah strategi serangan dengan melakukan tendangan sentak lurus ke depan. Justru serangan itu yang ditunggu oleh Habibullah. Begitu kaki kanan Budi melesat, secepat itu pula Habib justru memipihkan tubuhnya dengan cara maju serong depan merapat ke tubuh lawan. Ketika tendangan lawan meleset, justru tangan Habib yang menangkap kaki lawan. Sebuah sentakan halus ke atas dengan meminjam tenaga lontaran kaki lawan menjadikan teknik bantingan Habib sempurna. Budi jatuh di matras.

Jatuh bukan berarti kalah. Bangkit lagi untuk melanjutkan pertarungan. Itulah semangat para petarung di ajang Tarung Bebas Selempang Jember III pada 2 - 6 Agustus 2009 silam. Tarung bebas itu mirip benar dengan Pride ataupun K-1 di Jepang. Bedanya adalah sistem penilaian dan pertarungan menggunakan cara pencak silat. Cecaran serangan beruntun maksimal empat kali. Bila ingin menyerang lagi harus memberi jeda sesaat. Satu pertarungan tiga babak.

Karena mengadopsi pertarungan bebas luar negeri itu, maka hal-hal yang lain nyaris sama. Petarung tidak menggunakan body protector ataupun head protector. Petarung hanya mengenakan sarung tinju kecil, genital protector, dan gum seal (pelindung gigi) di mulut. Sasaran serangan bebas. Mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut. Yang tidak boleh diserang adalah kemaluan dan belakang kepala. Teknik yang dilarang hanya kuncian. Lainnya? Bebas sebebas-bebasnya.

Lantaran kata bebas itu begitu kuat menggema, maka petarung yang terjun di arena ini memang mereka yang memiliki nyali singa. Teknik tinggi saja tidak cukup. Sementara nyali singa saja sama saja dengan menjadi pecundang di babak-babak awal.

Budi dan Habibullah adalah finalis di kelas usia 35 tahun ke bawah. Dalam tarung bebas a la Jember itu, petarung hanya dibagi dalam dua kelas berdasarkan umur. Pertama adalah umur 25 - 35 tahun, dan kedua adalah usia 35 tahun ke atas. Berat badan tidak dibatasi. Semua petarung wajib mengenakan pakaian silat hitam. Para petarung dilarang membawa-bawa nama perguruan. Jadi mereka bertanding harus atas nama diri sendiri ataupun klub yang mereka namai sendiri.

Bebas kan? Ya, memang benar-benar bebas. Termasuk peserta juga bebas dari berbagai aliran beladiri mana pun. Yang harus mereka patuhi cuma dua: sportif dan taat para peraturan pertandingan pencak silat.

== Semi profesional ==

Pertarungan Habibullah vs Budi Hartono digelar di tengah Alun-alun Kota Jember. Para petarung berlaga di atas ring tinju. Ditonton ramai-ramai oleh seluruh warga kota pecinta beladiri. Tanpa tiket. Silakan nonton rame-rame. Bersorak sekencang mungkin. Pokoknya rame banget, seru banget, rakyat banget, oke banget. Khas Jember.

Habibullah akhirnya menang telak dalam pertarungan keras selama tiga ronde. Ia menjatuhkan Budi tiga kali. Selain itu cecaran pukulan dan tendangan lebih banyak memperoleh nilai daripada serangan Budi.

Apa kata Habibullah mengenai pertarungan itu?

"Wah, seru banget. Itu baru pertama kali saya ikuti. Sebelumnya sudah ada dua kali tarung bebas di Jember pada tahun 2007 dan 2008. Tetapi saya tidak ikut, bahkan tidak menonton. Kenapa saya kini ikut terjun, alasannya sederhana. Di Jawa Timur saya tidak memiliki lawan tanding di kancah pencak silat. Berat badan saya yang 85 kg menjadikan saya pesilat yang langka. Oleh karena itu ketika ada kesempatan bertanding tanpa melihat berat badan, saya langsung ikut," tutur Habibullah.

Habib, demikian panggilan akrab mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Dokter Sutomo Surabaya ini, mengaku dirinya menjadi petarung yang paling beruntung di arena tarung bebas Jember itu.

"Wajah saya masih yang paling mulus. Sementara para finalis lainnya wajahnya banyak yang lebam karena terkena pukulan maupun tendangan lawan. Sebenarnya, wajah saya juga beberapa kali terkena pukulan lawan. Tapi berkat teknik serang-hindar yang biasa menjadi menu latihan sehari-hari, maka secara reflek saya pasti mampu menghindari serangan ke arah kepala itu," katanya.

Terjun di arena tarung bebas di Jember bagi Habib semacam ujicoba sebelum ia terjun di arena Pekan Olahraga Mahasiswa di Malang. Di Jember, setiap petarung harus menandatangani surat pernyataan sanggup menerima risiko paling fatal bila terjun di arena itu.

"Ngeri juga yang kedengarannya? Tapi sebenarnya itu wajar-wajar saja. Bila setiap petarung telah siap berlaga, semuanya pasti telah memiliki cara untuk mengantisipasi agar dirinya jangan sampai cedera," ujar Habib.

Mengaku masih menyandang tingkat Strip Hijau di perguruan Perisai Diri, Habib masih merasa banyak kekurangan dalam hal teknik. Meski demikian, ia ternyata telah membuktikan teknik yang ia latih bisa ia gunakan untuk meraih juara di arena bergengsi: Tarung Bebas Selempang Pendekar Jember.

Gejlig sebagai senjata andalan, sering menerpa lawan. Tendangan langsung maupun papasan yang jitu, menjadikan Habib sempat meng-KO lawannya pada pertarungan perdana. Bila menemui lawan yang gesit dan beringas, Habib telah menyiapkan papasan gejlignya.

Di atas ring ia ditemani Mas Bambang, pelatih PD di Probolinggo. Sementara selepas pertarungan, ia beristirahat di tempat kos Muchlis, mahasiswa Universitas Negeri Jember yang juga berlatih PD. Makan pun di warung. Itulah sisi lain semangat juang seorang petarung.

Dalam dua kali pergelaran tarung bebas di Jember, belum ada satu pun pesilat PD yang mencoba unjuk gigi. Baru pada tahun 2009 ini Habib menginjakkan kaki di atas ring. Itu pun ia hanya sendirian. Dan gelar juara pun ia sandang.

Mau tahu berapa hadiah yang ia terima?

Pada babak penyisihan hadiah yang diperebutkan Rp 400.000. Petarung yang menang mendapat Rp 250.000 sementara yang kalah kebagian Rp 150.000. Sementara pada babak final uang hadiah meningkat menjadi Rp 2 juta. Sang juara mengantongi Rp 1.250.000, sementara runner up meraup Rp 750.000.

"Jangan melihat hadiah uangnya. Yang penting prestisnya. Para pesilat yang menonton final di kelas saya memahami bahwa lawan saya bukan seorang pesilat. Dari kuda-kudanya dan teknik ia bertarung, semua bisa terlihat. Oleh karena itu, ketika saya dinyatakan sebagai pemenang; banyak pesilat yang menyalami saya," katanya.

Dampak positif lainnya adalah, anggota PD, terutama di Jawa Timur, akhirnya seperti tergugah. Mereka ingin ikut berlaga pada tahun 2010 nanti. Habibullah telah menjadi pemicu semangat para saudaranya yang lain.

SUMBER : PERISAI DIRI.COM